Kerajaan: | Animalia | |
Filum: | Chordata | |
Kelas: | Reptilia | |
Ordo: | Squamata | |
Upaordo: | Autarchoglossa | |
Famili: | Varanidae | |
Genus: | Varanus | |
Spesies: | Varanus. komodoensis |
Komodo, atau yang selengkapnya disebut biawak komodo (Varanus komodoensis), adalah spesies kadal terbesar di dunia yang hidup di pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Gili Dasami di Nusa Tenggara. Biawak ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga disebut dengan nama setempat ora.
Termasuk anggota famili biawak Varanidae, dan klad Toxicofera, komodo merupakan kadal terbesar di dunia, dengan rata-rata panjang 2-3 m. Ukurannya yang besar ini berhubungan dengan gejala gigantisme pulau, yakni kecenderungan meraksasanya tubuh hewan-hewan tertentu yang hidup di pulau kecil terkait dengan tidak adanya mamalia karnivora di pulau tempat hidup komodo, dan laju metabolisme komodo yang kecil. Karena besar tubuhnya, kadal ini menduduki posisi predator puncak yang mendominasi ekosistem tempatnya hidup.
Komodo ditemukan oleh peneliti barat
tahun 1910. Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat
mereka populer di kebun binatang. Habitat komodo di alam bebas telah
menyusut akibat aktivitas manusia dan karenanya IUCN memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan. Biawak besar ini kini dilindungi di bawah peraturan pemerintah Indonesia dan sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Komodo, didirikan untuk melindungi mereka.
Anatomi dan morfologi
Di alam bebas, komodo dewasa biasanya
memiliki massasekitar 70 kilogram, namun komodo yang dipelihara di
penangkaran sering memiliki bobot tubuh yang lebih besar. Spesimen liar
terbesar yang pernah ada memiliki panjang sebesar 3.13 meter dan berat
sekitar 166 kilogram, termasuk berat makanan yang belum dicerna di dalam
perutnya. Meski komodo tercatat sebagai kadal terbesar yang masih
hidup, namun bukan yang terpanjang. Reputasi ini dipegang oleh biawak
Papua (Varanus salvadorii). Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya, dan sekitar 60 buah gigi yang bergerigi tajam sepanjang sekitar 2.5 cm, yang kerap diganti.] Air liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan ini tercabik selama makan. Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri mematikan
yang hidup di mulut mereka. Komodo memiliki lidah yang panjang,
berwarna kuning dan bercabang. Komodo jantan lebih besar daripada komodo
betina, dengan warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah batu bata,
sementara komodo betina lebih berwarna hijau buah zaitun, dan memiliki
potongan kecil kuning pada tenggorokannya. Komodo muda lebih berwarna,
dengan warna kuning, hijau dan putih pada latar belakang hitam.
Fisiologi
Komodo tak memiliki indera pendengaran,
meski memiliki lubang telinga. Biawak ini mampu melihat hingga sejauh
300 m, namun karena retinanya hanya memiliki sel kerucut,
hewan ini agaknya tak begitu baik melihat di kegelapan malam. Komodo
mampu membedakan warna namun tidak seberapa mampu membedakan obyek yang
tak bergerak. Komodo menggunakan lidahnya untuk mendeteksi rasa dan
mencium stimuli, seperti reptil lainnya, dengan inderavomeronasal memanfaatkan organ Jacobson,
suatu kemampuan yang dapat membantu navigasi pada saat gelap. Dengan
bantuan angin dan kebiasaannya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke
kiri ketika berjalan, komodo dapat mendeteksi keberadaan daging bangkai
sejauh 4—9.5 kilometer. Lubang hidung komodo bukan merupakan alat
penciuman yang baik karena mereka tidak memiliki sekat rongga badan. Hewan ini tidak memiliki indra perasa di lidahnya, hanya ada sedikit ujung-ujung saraf perasa di bagian belakang tenggorokan.
Sisik-sisik komodo, beberapa di antaranya
diperkuat dengan tulang, memiliki sensor yang terhubung dengan saraf
yang memfasilitasi rangsang sentuhan. Sisik-sisik di sekitar telinga,
bibir, dagu dan tapak kaki memiliki tiga sensor rangsangan atau lebih.
Komodo pernah dianggap tuli ketika
penelitian mendapatkan bahwa bisikan, suara yang meningkat dan teriakan
ternyata tidak mengakibatkan agitasi (gangguan) pada komodo liar. Hal
ini terbantah kemudian ketika karyawan Kebun Binatang London ZSL, Joan Proctor melatih biawak untuk keluar makan dengan suaranya, bahkan juga ketika ia tidak terlihat oleh si biawak.
Ekologi, perilaku dan cara hidup
Komodo secara alami hanya ditemui di Indonesia, di pulau Komodo, Floresdan Rinca dan beberapa pulau lainnya di Nusa Tenggara. Hidup di padang rumput kering terbuka, sabana dan
hutan tropis pada ketinggian rendah, biawak ini menyukai tempat panas
dan kering ini. Mereka aktif pada siang hari, walaupun kadang-kadang
aktif juga pada malam hari. Komodo adalah binatang yang penyendiri,
berkumpul bersama hanya pada saat makan dan berkembang biak. Reptil
besar ini dapat berlari cepat hingga 20 kilometer per jam pada jarak
yang pendek; berenang dengan sangat baik dan mampu menyelam sedalam 4.5
meter; serta pandai memanjat pohon menggunakan cakar mereka yang kuat.
Untuk menangkap mangsa yang berada di luar jangkauannya, komodo dapat
berdiri dengan kaki belakangnya dan menggunakan ekornya sebagai
penunjang. Dengan bertambahnya umur, komodo lebih menggunakan cakarnya
sebagai senjata, karena ukuran tubuhnya yang besar menyulitkannya
memanjat pohon.
Untuk tempat berlindung, komodo menggali
lubang selebar 1–3 meter dengan tungkai depan dan cakarnya yang
kuat. Karena besar tubuhnya dan kebiasaan tidur di dalam lubang, komodo
dapat menjaga panas tubuhnya selama malam hari dan mengurangi waktu
berjemur pada pagi selanjutnya. Komodo umumnya berburu pada siang hingga
sore hari, tetapi tetap berteduh selama bagian hari yang terpanas.
Tempat-tempat sembunyi komodo ini biasanya berada di daerah gumuk atau perbukitan dengan semilir angin laut, terbuka darivegetasi, dan di sana-sini berserak kotoran hewan penghuninya. Tempat ini umumnya juga merupakan lokasi yang strategis untuk menyergap rusa.
Perilaku makan
Komodo adalah hewan karnivora.
Walaupun mereka kebanyakan makan daging bangkai, penelitian menunjukkan
bahwa mereka juga berburu mangsa hidup dengan cara mengendap-endap
diikuti dengan serangan tiba-tiba terhadap korbannya. Ketika mangsa itu
tiba di dekat tempat sembunyi komodo, hewan ini segera menyerangnya pada
sisi bawah tubuh atau tenggorokan. Komodo dapat menemukan mangsanya
dengan menggunakan penciumannya yang tajam, yang dapat menemukan
binatang mati atau sekarat pada jarak hingga 9,5 kilometer.
Komodo muda di Rinca yang makan bangkai kerbau.
Reptil purba ini makan dengan cara
mencabik potongan besar daging dan lalu menelannya bulat-bulat sementara
tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa berukuran kecil
hingga sebesar kambing,
bisa jadi dagingnya dihabiskan sekali telan. Isi perut mangsa yang
berupa tumbuhan biasanya dibiarkan tak disentuh. Air liur yang kemerahan
dan keluar dalam jumlah banyak amat membantu komodo dalam menelan
mangsanya. Meski demikian, proses menelan tetap memakan waktu yang
panjang; 15–20 menit diperlukan untuk menelan seekor kambing. Komodo
kadang-kadang berusaha mempercepat proses menelan itu dengan menekankan
daging bangkai mangsanya ke sebatang pohon,
agar karkas itu bisa masuk melewati kerongkongannya. Dan kadang-kadang
pula upaya menekan itu begitu keras sehingga pohon itu menjadi
rebah. Untuk menghindari agar tak tercekik ketika menelan, komodo
bernafas melalui sebuah saluran kecil di bawah lidah, yang berhubungan
langsung dengan paru-parunya.
Rahangnya yang dapat dikembangkan dengan leluasa, tengkoraknya yang
lentur, dan lambungnya yang dapat melar luar biasa memungkinkan komodo
menyantap mangsa yang besar, hingga sebesar 80% bobot tubuhnya sendiri
dalam satu kali makan. Setelah makan, komodo menyeret tubuhnya yang
kekenyangan mencari sinar matahari untuk berjemur dan mempercepat proses
pencernaan. Kalau tidak, makanan itu dapat membusuk dalam perutnya dan
meracuni tubuhnya sendiri. Dikarenakanmetabolismenya yang
lamban, komodo besar dapat bertahan dengan hanya makan 12 kali setahun
atau kira-kira sekali sebulan. Setelah daging mangsanya tercerna, komodo
memuntahkan sisa-sisa tanduk, rambut dan gigi mangsanya, dalam
gumpalan-gumpalan bercampur dengan lendir berbau busuk, gumpalan mana
dikenal sebagai gastric pellet. Setelah itu komodo menyapukan
wajahnya ke tanah atau ke semak-semak untuk membersihkan sisa-sisa
lendir yang masih menempel; perilaku yang menimbulkan dugaan bahwa
komodo, sebagaimana halnya manusia, tidak menyukai bau ludahnya sendiri.
Dalam kumpulan, komodo yang berukuran paling besar biasanya makan lebih dahulu, diikuti yang berukuran lebih kecil menurut hirarki. Jantan terbesar menunjukkan dominansinya melalui
bahasa tubuh dan desisannya; yang disambut dengan bahasa yang sama oleh
jantan-jantan lain yang lebih kecil untuk memperlihatkan pengakuannya
atas kekuasaan itu. Komodo-komodo yang berukuran sama mungkin akan
berkelahi mengadu kekuatan, dengan cara semacam gulat biawak,
hingga salah satunya mengaku kalah dan mundur; meskipun adakalanya yang
kalah dapat terbunuh dalam perkelahian dan dimangsa oleh si pemenang.
Mangsa biawak komodo amat bervariasi,
mencakup aneka avertebrata, reptil lain (termasuk pula komodo yang
bertubuh lebih kecil), burungdan telurnya, mamalia kecil, monyet, babi
hutan, kambing, rusa, kuda, dan kerbau. Komodo muda memangsa serangga,
telur, cecak, dan mamalia kecil. Kadang-kadang komodo juga
memangsa manusia dan mayat yang digali dari lubang makam yang dangkal.]Kebiasaan
ini menyebabkan penduduk pulau Komodo menghindari tanah berpasir dan
memilih mengubur jenazah di tanah liat, serta menutupi atasnya dengan
batu-batu agar tak dapat digali komodo. Ada pula yang menduga bahwa
komodo berevolusi untuk memangsagajah kerdil Stegodon yang
pernah hidup di Flores. Komodo juga pernah teramati ketika mengejutkan
dan menakuti rusa-rusa betina yang tengah hamil, dengan harapan agar
keguguran dan bangkai janinnya dapat dimangsa; suatu perilaku yang juga
didapati pada predator besar di Afrika.
Karena tak memiliki sekat rongga badan,
komodo tak dapat menghirup air atau menjilati air untuk minum
(seperti kucing). Alih-alih, komodo ‘mencedok’ air dengan seluruh
mulutnya, lalu mengangkat kepalanya agar air mengalir masuk ke perutnya.
Bisa dan bakteri
Pada akhir 2005, peneliti dari Universitas Melbourne, Australia, menyimpulkan bahwa biawak Perentie (Varanus giganteus) dan biawak-biawak lainnya, serta kadal-kadal dari suku Agamidae, kemungkinan memiliki semacam bisa. Selama ini diketahui bahwa luka-luka akibat gigitan hewan-hewan ini sangat rawan infeksi karena
adanya bakteria yang hidup di mulut kadal-kadal ini, akan tetapi para
peneliti ini menunjukkan bahwa efek langsung yang muncul pada luka-luka
gigitan itu disebabkan oleh masuknya bisa berkekuatan menengah. Para
peneliti ini telah mengamati luka-luka di tangan manusia akibat gigitan
biawak Varanus varius, V. scalaris dan komodo, dan
semuanya memperlihatkan reaksi yang serupa: bengkak secara cepat dalam
beberapa menit, gangguan lokal dalam pembekuan darah, rasa sakit yang
mencekam hingga ke siku, dengan beberapa gejala yang bertahan hingga
beberapa jam kemudian. Sebuah kelenjar yang berisi bisa yang amat
beracun telah berhasil diambil dari mulut seekor komodo di Kebun Binatang Singapura, dan meyakinkan para peneliti akan kandungan bisa yang dipunyai komodo.
Di samping mengandung bisa, air liur komodo juga memiliki aneka bakteri mematikan di dalamnya; lebih dari 28 bakteri Gram-negatif dan 29Gram-positif telah diisolasi dari air liur ini. Bakteri-bakteri tersebut menyebabkan septikemia pada
korbannya; jika gigitan komodo tidak langsung membunuh mangsa dan
mangsa itu dapat melarikan diri, umumnya mangsa yang sial ini akan mati
dalam waktu satu minggu akibat infeksi. Bakteri yang paling mematikan di
air liur komodo agaknya adalah bakteri Pasteurella multocida yang
sangat mematikan; diketahui melalui percobaan dengan tikus
laboratorium. Karena komodo nampaknya kebal terhadap mikrobanya sendiri,
banyak penelitian dilakukan untuk mencari molekul antibakteri dengan
harapan dapat digunakan untuk pengobatan manusia.
Reproduksi
Musim kawin terjadi antara bulan Mei dan Agustus,
dan telur komodo diletakkan pada bulan September. Selama periode ini,
komodo jantan bertempur untuk mempertahankan betina dan teritorinya
dengan cara “bergulat” dengan jantan lainnya sambil berdiri di atas kaki
belakangnya. Komodo yang kalah akan terjatuh dan “terkunci” ke tanah.
Kedua komodo jantan itu dapat muntah atau buang air besar ketika bersiap
untuk bertempur. Pemenang pertarungan akan menjentikkan lidah
panjangnya pada tubuh si betina untuk melihat penerimaan sang betina.
Komodo betina bersifat antagonis dan
melawan dengan gigi dan cakar mereka selama awal fase berpasangan.
Selanjutnya, jantan harus sepenuhnya mengendalikan betina selama
bersetubuh agar tidak terluka. Perilaku lain yang diperlihatkan selama
proses ini adalah jantan menggosokkan dagu mereka pada si betina,
garukan keras di atas punggung dan menjilat. Kopulasi terjadi ketika
jantan memasukan salah satuhemipenisnya ke kloaka betina. Komodo dapat bersifat monogamus dan membentuk “pasangan,” suatu sifat yang langka untuk kadal.
Betina akan meletakkan telurnya di lubang tanah, mengorek tebing bukit atau gundukan sarang burung gosong berkaki-jingga yang
telah ditinggalkan. Komodo lebih suka menyimpan telur-telurnya di
sarang yang telah ditinggalkan. Sebuah sarang komodo rata-rata berisi 20
telur yang akan menetas setelah 7–8 bulan. Betina berbaring di atas
telur-telur itu untuk mengerami dan melindunginya sampai menetas di
sekitar bulan April, pada akhir musim hujan ketika terdapat sangat banyak serangga.
Proses penetasan adalah usaha melelahkan untuk anak komodo, yang keluar dari cangkang telur setelah menyobeknya dengan gigi telur yang
akan tanggal setelah pekerjaan berat ini selesai. Setelah berhasil
menyobek kulit telur, bayi komodo dapat berbaring di cangkang telur
mereka untuk beberapa jam sebelum memulai menggali keluar sarang mereka.
Ketika menetas, bayi-bayi ini tak seberapa berdaya dan dapat dimangsa
oleh predator.
Komodo muda menghabiskan tahun-tahun
pertamanya di atas pohon, tempat mereka relatif aman dari predator,
termasuk dari komodo dewasa yang kanibal, yang sekitar 10% dari
makanannya adalah biawak-biawak muda yang berhasil diburu. Komodo
membutuhkan tiga sampailimatahun untuk menjadi dewasa, dan dapat hidup
lebih dari 50 tahun.
Di samping proses reproduksi yang normal,
terdapat beberapa contoh kasus komodo betina menghasilkan anak tanpa
kehadiran pejantan (partenogenesis), fenomena yang juga diketahui muncul pada beberapa spesies reptil lainnya seperti pada Cnemidophorus.
Partenogenesis
Bayi komodo partenogenetik di Kebun Binatang Chester, Inggris.
Sungai, seekor komodo di Kebun Binatang
London, telah bertelur pada awal tahun 2006 setelah dipisah dari jantan
selama lebih dari dua tahun. Ilmuwan pada awalnya mengira bahwa komodo
ini dapat menyimpan sperma beberapa lama hasil dari perkawinan dengan
komodo jantan di waktu sebelumnya, suatu adaptasi yang dikenal dengan
istilah superfekundasi.
Pada tanggal 20 Desember 2006, dilaporkan
bahwa Flora, komodo yang hidup di Kebun Binatang
Chester, Inggris adalah komodo kedua yang diketahui menghasilkan telur
tanpa fertilisasi(pembuahan dari perkawinan): ia mengeluarkan 11 telur,
dan 7 di antaranya berhasil menetas. Peneliti dari Universitas
Liverpool di Inggris utara melakukan tes genetika pada tiga telur yang
gagal menetas setelah dipindah ke inkubator, dan terbukti bahwa Flora
tidak memiliki kontak fisik dengan komodo jantan. Setelah temuan yang
mengejutkan ini, pengujian lalu dilakukan terhadap telur-telur Sungai
dan mendapatkan bahwa telur-telur itupun dihasilkan tanpa pembuahan dari
luar.
Komodo memiliki sistem penentuan
seks kromosomal ZW, bukan sistem penentuan seks XY. Keturunan Flora yang
berkelamin jantan, menunjukkan terjadinya beberapa hal. Yalah bahwa
telur Flora yang tidak dibuahi bersifat haploid pada mulanya dan
kemudian menggandakan kromosomnya sendiri menjadi diploid; dan bahwa ia
tidak menghasilkan telur diploid, sebagaimana bisa terjadi jika salah
satu proses pembelahan-reduksi meiosis pada ovariumnya gagal. Ketika
komodo betina (memiliki kromosom seks ZW) menghasilkan anak dengan cara
ini, ia mewariskan hanya salah satu dari pasangan-pasangan kromosom yang
dipunyainya, termasuk satu dari dua kromosom seksnya. Satu set kromosom
tunggal ini kemudian diduplikasi dalam telur, yang berkembang secara
partenogenetika. Telur yang menerima kromosom Z akan menjadi ZZ
(jantan); dan yang menerima kromosom W akan menjadi WW dan gagal untuk
berkembang.
Diduga bahwa adaptasi reproduktif semacam
ini memungkinkan seekor hewan betina memasuki sebuah relung
ekologi yang terisolasi (seperti halnya pulau) dan dengan cara
partenogenesis kemudian menghasilkan keturunan jantan. Melalui
perkawinan dengan anaknya itu di saat yang berikutnya hewan-hewan ini
dapat membentuk populasi yang bereproduksi secara seksual, karena dapat
menghasilkan keturunan jantan dan betina. Meskipun adaptasi ini bersifat
menguntungkan, kebun binatang perlu waspada kerena partenogenesis
mungkin dapat mengurangi keragaman genetika.
Pada 31 Januari 2008, Kebun Binatang
Sedgwick County di Wichita, Kansas menjadi kebun binatang yang pertama
kali mendokumentasi partenogenesis pada komodo di Amerika. Kebun
binatang ini memiliki dua komodo betina dewasa, yang salah satu di
antaranya menghasilkan 17 butir telur pada 19-20 Mei 2007. Hanya dua
telur yang diinkubasi dan ditetaskan karena persoalan ketersediaan
ruang; yang pertama menetas pada 31 Januari 2008, diikuti oleh yang
kedua pada 1 Februari. Kedua anak komodo itu berkelamin jantan.
Evolusi
Perkembangan evolusi komodo dimulai
dengan marga Varanus, yang muncul di Asia sekitar 40 juta tahun yang
silam dan lalu bermigrasi keAustralia. Sekitar 15 juta tahun yang lalu,
pertemuan lempeng benua Australia dan Asia Tenggara memungkinkan para
biawak bergerak menuju wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang.
Komodo diyakini berevolusi dari nenek-moyang Australianya pada sekitar 4
juta tahun yang lampau, dan meluaskan wilayah persebarannya ke timur
hingga sejauh Timor. Perubahan-perubahan tinggi muka laut semenjakzaman
Es telah menjadikan agihan komodo terbatas pada wilayah sebarannya yang
sekarang.
Komodo dan manusia
Koin Rupiah Indonesia yang bergambar komodo.
Penemuan
Komodo pertama kali didokumentasikan oleh orang Eropa pada tahun 1910. Namanya meluas setelah tahun 1912, ketika Peter Ouwens, direktur Museum Zoologi di Bogor,
menerbitkan paper tentang komodo setelah menerima foto dan kulit reptil
ini. Nantinya, komodo adalah faktor pendorong dilakukannya ekspedisi
ke pulau Komodo oleh
W. Douglas Burden pada tahun 1926. Setelah kembali dengan 12 spesimen
yang diawetkan dan 2 ekor komodo hidup, ekspedisi ini memberikan
inspirasi untuk film King Kong tahun 1933. W. Douglas Burden adalah orang yang pertama memberikan nama “Komodo dragon” kepada
hewan ini. Tiga dari spesimen komodo yang diperolehnya dibentuk kembali
menjadi hewan pajangan dan hingga kini masih disimpan diMuseum Sejarah Alam Amerika.
Penelitian
Orang Belanda, karena menyadari
berkurangnya jumlah hewan ini di alam bebas, melarang perburuan komodo
dan membatasi jumlah hewan yang diambil untuk penelitian ilmiah.
Ekspedisi komodo terhenti semasa Perang Dunia II,
dan tak dilanjutkan sampai dengan tahun 1950an dan ‘60an tatkala
dilakukan penelitian-penelitian terhadap perilaku makan, reproduksi dan
temperatur tubuh komodo. Pada tahun-tahun itu, sebuah ekspedisi yang
lain dirancang untuk meneliti komodo dalam jangka panjang. Tugas ini
jatuh ke tangan keluarga Auffenberg, yang kemudian tinggal selama 11
bulan di Pulau Komodo di tahun 1969. Selama masa itu, Walter Auffenberg
dan Putra Sastrawan sebagai asistennya, berhasil menangkap dan menandai
lebih dari 50 ekor komodo. Hasil ekspedisi ini ternyata sangat
berpengaruh terhadap meningkatnya penangkaran
komodo. Penelitian-penelitian yang berikutnya kemudian memberikan
gambaran yang lebih terang dan jelas mengenai sifat-sifat alami komodo,
sehingga para biolog seperti halnya Claudio Ciofi dapat melanjutkan
kajian yang lebih mendalam.
Konservasi
Biawak komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red List.
Sekitar 4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar.
Populasi ini terbatas menyebar di pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili
Motang (100), Gili Dasami (100), Komodo (1.700), dan Flores (mungkin
sekitar 2.000 ekor). Meski demikian, ada keprihatinan mengenai populasi
ini karena diperkirakan dari semuanya itu hanya tinggal 350 ekor betina
yang produktif dan dapat berbiak. Bertolak dari kekhawatiran ini, pada
tahun 1980 Pemerintah Indonesia menetapkan berdirinya Taman Nasional Komodo untuk melindungi populasi komodo dan ekosistemnya di beberapa pulau termasuk Komodo, Rinca, dan Padar.
Belakangan ditetapkan pula Cagar Alam Wae
Wuul dan Wolo Tado di Pulau Flores untuk membantu pelestarian komodo.
Namun pada sisi yang lain, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa
komodo, setidaknya sebagian, telah terbiasa pada kehadiran manusia.
Komodo-komodo ini terbiasa diberi makan karkas hewan ternak, sebagai
atraksi untuk menarik turis pada beberapa lokasi kunjungan.
Aktivitas vulkanis, gempa bumi, kerusakan habitat, kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah karena kebakaran alami, berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap; semuanya menyumbang pada status rentan yang disandang komodo. CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species) telah menetapkan bahwa perdagangan komodo, kulitnya, dan produk-produk lain dari hewan ini adalah ilegal.
Meskipun jarang terjadi, komodo diketahui
dapat membunuh manusia. Pada tanggal 4 Juni 2007, seekor komodo
diketahui menyerang seorang anak laki-laki berumur delapan tahun. Anak
ini kemudian meninggal karena perdarahan berat dari luka-lukanya. Ini
adalah catatan pertama mengenai serangan yang berakibat kematian pada 33
tahun terakhir.
Penangkaran
Komodo di Kebun Binatang Toronto.
Telah semenjak lama komodo menjadi tontonan yang menarik di berbagai kebun binatang,
terutama karena ukuran tubuh dan reputasinya yang membuatnya begitu
populer. Meski demikian hewan ini jarang dipunyai kebun binatang, karena
komodo rentan terhadap infeksi dan penyakit akibat parasit, serta tak
mudah berkembang biak.
Komodo yang pertama dipertontonkan adalah pada Kebun Binatang Smithsonian di
tahun 1934, namun hewan ini hanya bertahan hidup selama dua tahun.
Upaya-upaya untuk memelihara reptil ini terus dilanjutkan, namun usia
binatang ini dalam tangkaran tak begitu panjang, rata-rata hanya 5 tahun
di kebun binatang tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Walter
Auffenberg di atas, yang hasilnya kemudian diterbitkan sebagai buku The Behavioral Ecology of the Komodo Monitor, pada akhirnya memungkinkan pemeliharaan dan pembiakan satwa langka ini di penangkaran.
Telah teramati bahwa banyak individu
komodo yang dipelihara memperlihatkan perilaku yang jinak untuk jangka
waktu tertentu. Dilaporkan pada banyak kali kejadian, bahwa para pawang
berhasil membawa keluar komodo dari kandangnya untuk berinteraksi dengan
pengunjung, termasuk pula anak-anak di antaranya, tanpa akibat yang
membahayakan pengunjung. Komodo agaknya dapat mengenali orang satu
persatu. Ruston Hartdegen dari Kebun Binatang Dallas melaporkan
bahwa komodo-komodo yang dipeliharanya bereaksi berbeda apabila
berhadapan dengan pawang yang biasa memeliharanya, dengan pawang lain
yang kurang lebih sudah dikenal, atau dengan pawang yang sama sekali
belum dikenal.
Penelitian terhadap komodo peliharaan
membuktikan bahwa hewan ini senang bermain. Suatu kajian mengenai komodo
yang mau mendorong sekop yang ditinggalkan oleh pawangnya, nyata-nyata
memperlihatkan bahwa hewan itu tertarik pada suara yang ditimbulkan
sekop ketika menggeser sepanjang permukaan yang berbatu. Seekor komodo
betina muda di Kebun Binatang Nasional di Washington, D.C.senang
meraih dan mengguncangkan aneka benda termasuk patung-patung,
kaleng-kaleng minuman, lingkaran plastik, dan selimut. Komodo ini pun
senang memasuk-masukkan kepalanya ke dalam kotak, sepatu, dan aneka
obyek lainnya. Komodo tersebut bukan tak bisa membedakan benda-benda
tadi dengan makanan; ia baru memakannya apabila benda-benda tadi
dilumuri dengan darah tikus. Perilaku bermain-main ini dapat
diperbandingkan dengan perilaku bermain mamalia.
Catatan lain mengenai kesenangan bermain komodo didapat dari Universitas Tennessee.
Seekor komodo muda yang diberi nama “Kraken” bermain dengan
gelang-gelang plastik, sepatu, ember, dan kaleng, dengan cara
mendorongnya, memukul-mukulnya, dan membawanya dengan mulutnya. Kraken
memperlakukan benda-benda itu berbeda dengan apa yang menjadi
makanannya, mendorong Gordon Burghardt –peneliti– menyimpulkan bahwa
hewan-hewan ini telah mementahkan pandangan bahwa permainan semacam itu
adalah “perilaku predator bermotif-pemangsaan”.
Komodo yang nampak jinak sekalipun dapat
berperilaku agresif secara tak terduga, khususnya apabila teritorinya
dilanggar oleh seseorang yang tak dikenalnya. Pada bulan Juni 2001,
serangan seekor komodo menimbulkan luka-luka serius pada Phil Bronstein —
editor eksekutif harian San Francisco Chronicle dan bekas suami Sharon Stone,
seorang aktris Amerika terkenal — ketika ia memasuki kandang binatang
itu atas undangan pawangnya. Bronstein digigit komodo itu di kakinya
yang telanjang, setelah si pawang menyarankannya agar membuka sepatu
putihnya, yang dikhawatirkan bisa memancing perhatian si komodo. Meski
pria itu berhasil lolos, namun ia membutuhkan pembedahan untuk
menyambung kembali tendon ototnya yang terluka.
0 comments:
Post a Comment